Belajar & Berbagi

Ayo Sholat di awal waktu. Powered by Blogger.

berjamaah di masjid

agar senantiasa damai hidup ini

About

Blogger news

Blogroll

Pencarian

View templates

Thursday, January 28, 2016

Galau karena gaji langsung habis di tanggal muda?

Galau karena gaji langsung habis di tanggal muda? 

Untuk nafkah istri, bayar listrik, air, biaya pendidikan anak dan keperluan keluarga lainnya? Semestinya tidak demikian jika Anda membaca hadits-hadits ini.

Hadits pertama
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

“Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah, satu dinar yang engkau belanjakan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau belanjakan untuk orang miskin, dan satu dinar yang engkau belanjakan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah yang engkau belanjakan untuk keluargamu” (HR. Muslim)

Jangan galau, jangan bersedih hati jika gajimu (misalkan Rp 3 juta) habis untuk menafkahi istri dan anak-anak, lalu engkau tidak bisa sedekah untuk kaum dhuafa’ dalam jumlah banyak. Sesungguhnya nafkah untuk istri dan anak merupakan sedekah, bahkan pahalanya lebih besar daripada sedekah lainnya.

“Nafkah kepada keluarga itu lebih utama dari sedekah yang hukumnya sunnah,” terang Imam Nawawi.
Hadits kedua
أَفْضَلُ دِينَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ دِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِهِ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى دَابَّتِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى أَصْحَابِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

“Dinar yang paling utama yang dibelanjakan oleh seorang lelaki adalah dinar yang ia belanjakan untuk keluarganya, dinar yang ia belanjakan untuk kudanya di jalan Allah (perlengkapan jihad), dinar yang ia belanjakan untuk sahabat-sahabatnya di jalan Allah” (HR. Muslim)

Jangan galau, jangan bersedih hati jika gajimu habis untuk menafkahi istri dan anak-anak. Sebab menafkahi istri dan anak-anak merupakan sedekah utama, bahkan lebih utama daripada membiayai jihad di jalan Allah. “Beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) memulai dari keluarga,” demikian Abu Qilabah menyimpulkan urutan keutamaan dalam hadits ini.
Hadits ketiga
مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ

“Apa yang engkau nafkahkan untuk makanmu, ia dinilai sebagai sedekah bagimu. Apa yang engkau nafkahkan untuk makan anakmu, ia dinilai sebagai sedekah bagimu. Apa yang engkau nafkahkan untuk makan istrimu, ia dinilai sebagai sedekah bagimu. Apa yang engkau nafkahkan untuk makan pembantumu, ia juga dinilai sebagai sedekah bagimu.” (HR. Ahmad)

Masya Allah… bahkan apa yang kita makan, yang kita nafkankan untuk makan anak, istri dan pembantu juga dinilai sebagai sedekah.

Masihkah dirimu galau? Sungguh rahmat Allah sangat luas
porthelon
Monday, December 28, 2015

Miangas... surga diutara negeri


Miangas adalah pulau terluar Indonesia yang terletak dekat perbatasan antara Indonesia dengan Filipina. Pulau tersebut kerap diklaim oleh Filipina, dan mereka menyebutnya “Las Palmas.”

 Pulau ini termasuk ke dalam desa Miangas, kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Miangas adalah salah satu pulau yang tergabung dalam gugusan Kepulauan Nanusa yang berbatasan langsung dengan Filipina.

 Pulau ini merupakan salah satu pulau terluar Indonesia. Pulau Miangas  mayoritas adalah Suku Talaud.

Subhanallah... bening, bersih bgt pantainya




Letak Geografis

Bagi masyarakat Talaud, pulau Miangas juga disebut Tinonda. Pulau ini letaknya terpencil di tepi samudera Pasific dan berhadapan langsung dengan pulau Mindanao Filipina. Luasnya, hanya sekitar 3,5 kilometer persegi.

 Letak geografisnya adalah pada 5° 34' 02'' LU  dan 126° 34' 54'' BT terdapat TD No. 056 dan TR No. 056.


Secara administratif, dulunya Miangas termasuk dalam wilayah Kecamatan Nanusa, Kabupaten Sangihe Talaud. Kini sudah merupakan kecamatan sendiri yang bersifat khusus karena hanya membawahi satu desa yakni Desa Miangas.


Miangas lebih dekat dengan Filipina ketimbang dengan wilayah Indonesia lainnya. Jarak antara Miangas dengan Santa Agustin atau General Santos Mindanao Filipina Selatan dapat ditempuh dalam waktu 2 hingga 3 jam. Sementara jarak Miangas dengan Melonguane, ibu kota Kabupaten Talaud, sekitar 90 mil.  Pelayaran dari Miangas  ke Manado, sejauh 275 mil bisa memakan waktu sampai dua hari.

Sebenarnya jika dikelola dengan baik, pulau ini memiliki potensi menguntungkan bagi masyarakat setempat. Miangas sangat indah dan menawan. Air lautnya jernih hingga menembus ke dasar laut, pantai pasir  putihnya landai dan sangat bersih. Untuk bisa ke Miangas, kapal Pelni dari Pelabuhan Bitung Menado tersedia dua minggu sekali. Kalau cuaca bagus bisa ditempuh 20 jam, tapi kalau gelombang  besar, biasanya kapal urung merapat ke pulau tersebut.




Sarana dan  Prasarana di Pulau Miangas (Infrastructure Miangas Island)
Tipe pantai yang mengelilingi Pulau Miangas adalah pantai berpasir. Butiran pasir pantai yang berhadapan dengan pulau-pulau lainnya lebih halus dari pada pasir pantai yang berhadapan dengan lautan. Pola pasang wilayah Miangas adalah tipe jurnal, yaitu dalam satu hari terjadi dua kali pasang naik dan pasang surut, dengan fluktuasi pasang sekitar 2 meter dan mencapai puncaknya pada saat bulan purnama. Di perairan Pulau Miangas dikenal dua arah angin yang berpengaruh terhadap gelombang dan arus, yaitu angin utara dan angin selatan.
Gelombang dan ombak laut pada saat angin utara lebih besar dibandingkan saat angin selatan. Secara umum gelombang yang terjadi sepanjang musim relatif besar dengan ketinggian mencapai 2 meter. Sedangkan pada perairan bagian dalam Pulau Miangas, gelombang relatif tenang sepanjang tahun.

 

 Kondisi perairan di sekitar Pulau Miangas masih bagus, hal ini terlihat dari kecerahan air yang tinggi, suhu perairan hangat dengan fluktuasi kecil dan kandungan oksigen terlarut yang berada pada kisaran yang baik (7,2-7,6 mg/l).


Potensi Sumber Daya Alam (Potensial Natural Resource)
Terumbu karang merupakan ekosistem utama yang ada di perairan Pulau Miangas. Pada perairan bagian luar juga ditemukan komunitas terumbu, namun tidak sebanyak di bagian dalam.







Hal ini disebabkan kondisi gelombang yang lebih kuat pada bagian luar, sehingga hanya jenis karang tertentu saja yang mampu beradaptasi. Jenis terumbu karang yang ada di Pulau Miangas merupakan terumbu tepi.



Tetapi karena posisi pulau yang berhadapan dengan pulau lain membentuk formasi hampir melingkar, sehingga tipe terumbu karang secara keseluruhan lebih menyerupai atol.

Pada kedalaman satu meter jenis karang yang paling banyak ditemukan adalah jenis Acropora bercabang, karang meja dan yang menjari serta jenis karang otak dan karang lunak (soft coral). Rumput laut dan lamun yang ada antara lain Padina, Ulva dan Cymodocea

Dari pengalaman pribadi dan berbagai sumber

            
porthelon

Terompet dari sampul Alqur'an

Tanda - tanda akhir zaman sudah tampak jelas
Alqur'an sebagai pedoman dilecehkan

Dengan entengnya ngomong gak sengaja dan sebagainya

Andai saja kita hidup di zaman nabi
mungkin sudah dilenyapkan dari muka bumi

Saatnya instrospeksi diri, adakah yang salah dengan kita saat ini?
Mari bersatu, pererat ukhuwah, kuatkan aqidah 

duh gusti...

Maafkan kami...
Ampuni kami...
Rahmatilah kami...

========================================

Din Syamsuddin: Bawa Kasus Terompet Al Quran ke Ranah Hukum


KETUA Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin meminta agar MUI Kabupaten Semarang dan MUI Kabupaten Kendal melaporkan kasus pembuatan trompet dengan samput Al Qur’an kepada kepolisian setempat. Din menilai kejadian sudah masuk dalam kategori penistaan agama Islam.

“Untuk menangkap atau memproses baik pembuat maupun penerima atau penjual trompet tersebut,” ujar Din dalam siaran pers yang diterima Islampos.com, Senin (28/12) malam.

Mantan Ketum PP Muhammadiyah ini juga meminta agar umat Islam dapat menahan diri dan tidak bereaksi berlebihan terhadap insiden ini dan menyerahkannya kepada proses hukum.

Diberitakan, terompet berbahan sampul Al Qur’an awal mulanya terdeteksi di Kebondalem, Kendal, Jawa Tengah. Seorang tokoh agama yang menemukan terompet dimaksud segera bereaksi dengan melaporkan temuannya kepada polisi. Berdasarkan penelusuran produsen terompet berasal dari Solo.

Otoritas Alfamart sebagai retail penjual terompet menyebutkan barang tersebut dikirim pemasok dalam bentuk bungkusan sehingga manajemen tidak mengetahui terdapat terompet berbahan sampul Al Qur’an.

https://www.islampos.com/din-syamsuddin-bawa-kasus-terompet-al-quran-ke-ranah-hukum-241458/
porthelon
Sunday, August 09, 2015

Masalah Kita Bukan Masalah Ekonomi

Masalah kita masalah ekonomi ? Bukan banget-banget. 

Masalah kita itu, sebab ga tahajjud. Ga ada witir. Ga shubuh berjamaah. Ancur semua.

Masalah kita masalah ekonomi? Bukan. Masalah kita itu bukan di situ akarnya. Tapi lebih kita bisa jadi pada munafik dan fasik.

Ai mah Islam. Tapi ama masjid jauh. Ama ngaji, ga lancar. Plus ga ngerti. Tapi kalo ngomong soal agama, debat sampe keluar urat nadi, hehehe.

Nyepelein shalat, banyak menyekutukan Allah, ama Allah banyak lalainya, banyak ga ngehargainnya, banyak lupanya. Nyantai banget kalo ke Allah.
Ama Allah juga ga ada takutnya. Ama mati ga ada takutnya. Akhirnya, ummat Islam dibuat berantakan di semua sendi. Termasuk ekonomi.

Sangat-sangat belom terlambat. Saya bicara pada diri sendiri. Jika malam ini Kamu gagal shalat malam dan shubuh berjamaah, maka Kamu benar-benar akan trlambat.

Ga usah kejauhan nyari solusi. Benahin bener aja dulu shalat berjamaahnya. Ke masjid. Ke masjid. Ke masjid. Ada di sana tuh solusi.

Ini orang-orang pinter yang suka pada diskusi, debat, mikirin negara&agama, kadang suka pada berantakan shalat tepat waktu dan tiada berjamaah kecuali sedikit.

Semoga Allah memaafkan kita semua. Dan membimbing kita semua. Wabil khusus saya ini. Yang suka ngomong. Semoga Allah perbaiki saya juga.

sumber : http://yusufmansur.com/masalah-kita-bukan-masalah-ekonomi/
porthelon
Tuesday, August 06, 2013

Lebarannya Rasulullah SAW


Idul Fithri adalah anugerah Allah kepada umat Nabi Muhammad, tak salah bila disambut dengan suka cita. 
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Annas RA. “Rasulullah SAW datang, dan penduduk Madinah memiliki dua hari, mereka gunakan dua hari itu untuk bermain di masa Jahiliyah. Lalu beliau berkata, ‘Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa Jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yaitu hari Nahr (‘Idul Adha) dan hari Fithr (‘Idul Fithri)’.”  

Hanya saja dalam kegembiraan ini jangan sampai berlebih-lebihan, baik itu dalam berpakaian, berdandan, makan, tertawa. Dan di malam Hari Raya ‘Idul Fithri pun, kita hendaknya tidak terlarut dalam kegembiraan sehingga kita lupa untuk menghidupkan malam kita dengan qiyamul lail. 

Bukankan kita sudah dilatih untuk menghidupkan malam-malam kita dengan Tarawih selama bulan Ramadhan? Dan Rasulullah SAW pun bersabda, dari Abu Umamah RA, “Barang siapa melaksanakan qiyamul lail pada dua malam ‘Id (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha) dengan ikhlas karena Allah SWT, hatinya tidak akan pernah mati di hari matinya hati-hati manusia’." (HR Ibnu Majah). 

Marilah kita lihat bagaimana Rasulullah SAW menyambut Lebaran dengan keriangan yang bersahaja.
Pagi itu, tepatnya 1 Syawwal, Rasulullah SAW keluar dari tempat i’tikafnya, Masjid Nabawi. Beliau bergegas mempersiapkan diri untuk berkumpul bersama umatnya, melaksanakan salat ‘Id. Nabi juga menyuruh semua kaum muslimin, dewasa, anak-anak, laki-laki, dan perempuan, baik perempuan yang suci maupun yang haid, keluar bersama menuju tempat shalat, supaya mendapat keberkahan pada hari suci tersebut.

Menurut hadits Ummu ‘Athiyyah, “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan semua gadis dan wanita, termasuk yang haid, pada kedua hari raya, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan hari itu, juga mendapat doa dari kaum muslimin. Hanya saja wanita-wanita yang haid diharapkan menjauhi tempat shalat.” (HR Bukhari-Muslim).

Dikatakan oleh Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW keluar dengan seluruh istri dan anak-anak perempuannya pada waktu dua hari raya.” (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).

Ibnu Abbas dalam hadits yang diriwayatkannya menuturkan, “Saya ikut pergi bersama Rasulullah SAW (waktu itu Ibnu Abbas masih kecil), menghadiri Hari Raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, kemudian beliau shalat dan berkhutbah. Dan setelah itu mengunjungi tempat kaum wanita, lalu mengajar dan menasihati mereka serta menyuruh mereka agar mengeluarkan sedekah.”

Sebelum melaksanakan salat ‘Id, terlebih dahulu Rasulullah membersihkan diri. Lalu beliau berdoa, “Ya Allah, sucikanlah hati kami sebagaimana Engkau sucikan badan kami, sucikanlah bathin kami sebagaimana Engkau telah menyucikan lahir kami, sucikanlah apa yang tersembunyi dari orang lain sebagaimana Engkau telah menyucikan apa yang tampak dari kami.”

Ada juga riwayat yang mengatakan, Rasulullah, setelah mandi, memakai parfum. Anas bin Malik berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan kita di dua hari raya mengenakan pakaian terbagus yang kita miliki, menggunakan parfum terbaik yang kita miliki, dan berqurban (bersedekah) dengan apa saja yang paling bernilai yang kita miliki.” (HR Al-Hakim, dan sanadnya baik).

Imam Syafi’i dengan sanad yang juga baik meriwayatkan, Rasulullah SAW mengenakan kain burdah (jubah) yang bagus pada setiap hari raya. Pakain terbagus dalam hal ini bukan berarti baru dibeli, tetapi terbagus dari yang dimiliki. Lebih khusus lagi Imam Syafi’i dan Baghawi meriwayatkan, Nabi SAW memakai pakaian buatan Yaman yang indah pada setiap hari raya (Pakaian buatan Yaman merupakan standar keindahan busana saat itu).

Pada hari istimewa itu, beliau mengenakan hullah, pakaiannya yang terbaik yang biasa beliau kenakan setiap hari raya dan hari Jum’at. Ini merupakan tanda syukur kepada Allah, yang telah memberikan nikmat-Nya. 

Kemudian, beliau mengambil beberapa butir kurma untuk dimakan. Kurma yang dimakan biasanya jumlahnya ganjil, seperti satu, tiga, dan berikutnya. Ini pertanda, hari itu umat Islam menghentikan puasanya.

Sepanjang perjalanan dari rumah menuju tempat salat ‘Id, Rasulullah tak henti-hentinya mengumandangkan takbir dengan khidmat. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilhamdu.”

Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha di tanah lapang, seperti disebutkan di dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim. Beliau baru melaksanakan salat ‘Id di masjid kalau hari hujan. Menurut ahli fiqih, tempat salat ‘Id yang sering digunakan Rasulullah dan para sahabat itu terletak di sebuah lapangan di pintu timur kota Madinah.

Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri agak siang. Ini untuk memberi kesempatan kepada para sahabat membayar zakat fithrah mereka. Sementara salat ‘Idul Adha dilakukan lebih awal, agar kaum muslimin bisa menyembelih hewan qurban mereka.

Jundab RA berkata, “Rasulullah SAW shalat ‘Idul Fitri dengan kami ketika matahari setinggi dua tombak, dan shalat ‘Idul Adha dengan kami ketika matahari setinggi satu tombak.”

Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri dua rakaat tanpa adzan dan iqamat. Pada rakaat pertama, beliau bertakbir tujuh kali dengan takbiratul ihram dan kaum muslimin di belakangnya bertakbir seperti takbirnya. Kemudian membaca surah Al-Fatihah dan surah lainnya dengan keras. 

Pada rakaat kedua, beliau takbir qiyam (berdiri dari sujud) kemudian bertakbir lima kali, kemudian membaca Al-Fatihah, disambung dengan surah lainnya.

Namun ada juga sahabat yang tertinggal shalatnya. Maka misalnya dia hanya mendapat tasyahhud, setelah imam salam dia shalat dua rakaat. Jadi dia shalat dua rakaat, sebagaimana dia ketinggalan dua rakaat dari imam. 

Lalu bagaimana dengan orang yang ketinggal shalat hari raya? Menurut Ibnu Mas’ud, “Barang siapa tertinggal shalat hari raya, hendaklah dia shalat empat rakaat sendiri.”

Abu Said Al-Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW selalu keluar pada Hari Raya Haji dan Hari Raya Puasa. Beliau memulai dengan shalat. Setelah selesai shalat dan memberi salam, Baginda berdiri menghadap kaum muslimin yang masih duduk di tempat shalatnya masing-masing. Jika mempunyai keperluan yang mesti disampaikan, akan beliau tuturkan hal itu kepada kaum muslimin. Atau ada keperluan lain, maka beliau memerintahkannya kepada kaum muslimin. Beliau pernah bersabda (dalam salah satu khutbahnya di hari raya), ‘Bersedekahlah kalian! Bersedekahlah! Bersedekahlah!’ Dan ternyata kebanyakan yang memberikan sedekah adalah kaum wanita.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ketika berangkat untuk melakukan salat ‘Id, Rasulullah selalu melewati jalan yang berbeda ketika pulangnya. Ini memudahkan para sahabat yang hendak menemui beliau untuk mengucapkan selamat hari raya, sekaligus menunjukkan kepada kaum kafir bahwa inilah umat Islam, yang keluar menuju Allah, dan kembali kepada-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan berjalan di muka bumi ini agar memperoleh keridhaan-Nya. 

Saling Bermaafan


Saat bertemu satu sama lain, kaum muslimin saling bermaafan, seraya saling mendoakan. Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan RA mengatakan, “Aku menemui Watsilah bin Al-Asqa’ pada hari ‘Id, lalu aku mengatakan, ‘Taqabbalallah minna wa minka (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadahmu).’ 

Lalu ia menjawab, ‘Taqabbalallah minna wa minka’. 

Kemudian Watsilah berkata, ‘Aku menemui Rasulullah SAW pada hari ‘Id, lalu aku mengucapkan: Taqabbalallah minna wa minka. 

Lalu Rasulullah SAW menjawab, ‘Ya, taqabbalallah minna wa minka’.” (HR Baihaqi). 

Selanjutnya, di masa sahabat, ucapan ini agak berubah sedikit. Jika sebagian sahabat bertemu dengan sebagian yang lain, mereka berkata, “Taqabballahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadah kalian).” (HR Ahmad dengan sanad yang baik).

Pada hari raya, Rasulullah mempersilakan para sahabat untuk bergembira. Seperti mengadakan pertunjukan tari dan musik, makan dan minum, serta hiburan lainnya. Namun semua kegembiraan itu tidak dilakukan secara berlebihan atau melanggar batas keharaman. Karena, hari itu adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah Azza wa Jalla (HR Muslim).

Aisyah RA menceritakan, “Di Hari Raya ‘Idul Fithri, Rasulullah masuk ke rumahku. Ketika itu, di sampingku ada dua orang tetangga yang sedang bernyanyi dengan nyanyian bu’ats (bagian dari nyayian pada hari-hari besar bangsa Arab ketika terjadi perselisihan antara Kabilah Aush dan Khazraj sebelum masuk Islam). Kemudian Rasulullah berbaring sambil memalingkan mukanya. 

Tidak lama setelah itu Abu Bakar masuk, lalu berkata, ‘Kenapa membiarkan nyanyian setan berada di samping Rasulullah?’

Mendengar hal itu, Rasulullah menengok kepada Abu Bakar seraya berkata, ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita’.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ada juga riwayat dari Imam Bukhari yang menceritakan, “Rasulullah SAW masuk ke tempatku (Aisyah), kebetulan di sana ada dua orang sahaya sedang menyanyikan syair-syair Perang Bu’ats (Bu’ats adalah nama benteng kepunyaan suku Aus; sedang hari Bu’ats ialah suatu hari yang terkenal di kalangan Arab, waktu terjadi pertempuran besar di antara suku Aus dan Khazraj). Beliau terus masuk dan berbaring di ranjang sambil memalingkan kepalanya. 

Tiba-tiba masuk pula Abu Bakar dan membentakku seraya berkata, ‘(Mengapa mereka) mengadakan seruling setan di hadapan Nabi?’ 

Maka Nabi pun berpaling kepadanya, beliau berkata, ‘Biarkanlah mereka.’

Kemudian setelah beliau terlena, aku pun memberi isyarat kepada mereka supaya keluar, dan mereka pun pergi. 

Dan waktu hari raya itu banyak orang Sudan mengadakan permainan senjata dan perisai. Adakalanya aku meminta kepada Nabi SAW untuk melihat, dan adakalanya pula beliau sendiri yang menawarkan, ‘Inginkah kau melihatnya?’

Aku jawab, ‘Ya.’

Maka disuruhnya aku berdiri di belakangnya, hingga kedua pipi kami bersentuhan, lalu sabdanya, ‘Teruskan, hai Bani ‘Arfadah!’ 

Demikianlah sampai aku merasa bosan.

Maka beliau bertanya, ‘Cukupkah?’ 

Aku jawab, ‘Cukup.’ 

‘Kalau begitu, pergilah!’ kata beliau.”

Hakikat Kemenangan

Demikianlah, Ramadhan telah melewati kita. Tapi kebaikan-kebaikan lain tetap mesti dipertahakan. 
Puasa Ramadhan memang telah berakhir, tapi puasa-puasa sunnah, misalnya, tidaklah berakhir, tetap menanti kita. Seperti puasa enam hari di bulan Syawwal, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan (ayyaamul bidh, tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan), puasa Asyura' (tanggal 10 Muharram), puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), dan lain-lain.

Tarawih memang telah berlalu, tapi Tahajjud, misalnya, tetap menanti kita. Juga bermunajat di tengah malam, yang merupakan kebiasaan orang-orang shalih. Abu Sulaiman Ad-Daaraani rahimahullah berkata, "Seandainya tidak ada malam, niscaya aku tidak ingin hidup di dunia."

Zakat fithrah memang telah berlalu, tapi zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka lebar pada waktu-waktu yang lain.

Karenanya, memasuki ‘Idul Fithri, yang berarti jiwa kita menjadi fithri (suci), “tampilan” kita harus lebih Islami. Baik tujuan, orientasi, motivasi, fikrah (pemikiran), akhlaq, moral, perilaku, interaksi, kebijakan, aktivitas, kiprah, peran, maupun yang lainnya. Individu, rumah tangga, ataupun sosial. Rakyat, ataupun pejabat. Ini merupakan indikator diterimanya puasa Ramadhan kita. Karena jika Allah SWT menerima amal seseorang, Dia akan menolongnya untuk mengadakan perubahan diri ke arah yang lebih positif dan meningkatkan amal kebajikan.

Seorang penyair Arab mengingatkan dalam sya'irya:

Bukanlah Hari Raya ‘Id itu
bagi orang yang berbaju baru
Melainkan hakikat ‘Id itu
bagi orang yang bertambah ta'atnya


Semoga dengan latihan yang telah kita lakukan selama bulan Ramadhan ini, kita disampaikan Allah kepada ketaqwaan. Semoga ketaqwaan ini dapat kita terus pertahankan dan kita jadikan sebagai pakaian kita sehari-hari. Dan semoga kita masih dapat dipertemukan Allah dengan Ramadhan berikutnya. 
Taqabbalallahu minna waminkum, wakullu 'aamin wa antum bikhairin. 

Sumber :
http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/681-tangis-perpisahan-para-pecinta-ramadhan
porthelon

Hakikat Kemenangan

Merayakan hari kemenangan bukanlah dengan menyalakan petasan tanpa tujuan...
janganlah kita ikut meniru budaya orang kafir yang akan melupakan hakikat kemenangan...
apalagi dengan besar-besaran termasuk pemborosan yang tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW

Hendaknya setiap diri mengevaluasi amalan di bulan Ramadhan
sudah optimalkah semua amalan kita?
Tilawah kita apakah sudah sesuai dengan yang kita targetkan
Apakah dengan Shaum kita bisa menahan nafsu kita? atau justru malah mengumbar keinginan yang justru akan melalaikan... 
apalagi sudah menjadi budaya bahwa saat ini kalau buka puasa dengan gorengan bukannya dengan kurma...
bagaimana puasa akan menjadikan badan sehat kalau bukanya tidak sesuai syariat? 

Sudahkah sholat malam kita tegakkan untuk membedakan dengan orang yang tidak beriman?
atau justru asyik tidur yang akan mematikan hati kita mengingat Allah?

Sahabatku...
Walaupun Ramadhan telah berlalu... tidak berarti berlalu pula ibadah yang sudah biasa kita lakukan dibulan Ramadhan
Mari... marilah sahabatku... Luruskan niat dan hati kita... mari tingkatkan semangat kita untuk beribadah hanya untuk meraih ridho-Nya
Jangan pernah patah semangat atau bahkan menyerah dengan keadaan & kesibukan kita sehari-hari yang justru akan merugikan kita dikemudian hari...
Perjalanan hidup kita masih panjang... masih ada akhirat... itulah kehidupan hakiki yang sebenarnya...

Semoga Allah SWT selalu membimbing keluarga kita agar senantiasa taat kepada-Nya

 اَمِين يَا رَبَّ الْعَالَمِيْن
porthelon

Tangis Perpisahan para Pecinta Ramadhan

“Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”

Waktu terus bergulir dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu.... Rasanya baru kemarin kita begitu bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran, bulan maghfirah, bulan yang penuh berkah. Namun beberapa saat lagi, Ramadhan akan meninggalkan kita, padahal kita belum optimal melaksanakan qiyamul lail kita, belum optimal membaca Al-Quran serta belum optimal melaksanakan ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang belum semuanya terlaksana. Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih dapat berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.

Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan mereka, mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan menghampiri diri mereka.

Orang-orang zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.

Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia, tapi juga  para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya. 

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”

Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”

“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih. 

Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.

Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang. 

Suatu hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut.”

Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih. 

Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”

“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”

Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”

Ucapan Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.” 

Imam Mu'alla bin Al-Fadhl RA berkata, "Dahulu para ulama senantiasa berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah mereka (selama Ramadhan)."

Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat. 

Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di antara kita dan mereka.

Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain. 

Padahal di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk besok, apalagi untuk pesta pora di hari Lebaran.

Tapi apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri dengan kegembiraan? Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i). 

Lebarannya Rasulullah SAW


Idul Fithri adalah anugerah Allah kepada umat Nabi Muhammad, tak salah bila disambut dengan suka cita. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Annas RA. “Rasulullah SAW datang, dan penduduk Madinah memiliki dua hari, mereka gunakan dua hari itu untuk bermain di masa Jahiliyah. Lalu beliau berkata, ‘Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa Jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yaitu hari Nahr (‘Idul Adha) dan hari Fithr (‘Idul Fithri)’.”  

Hanya saja dalam kegembiraan ini jangan sampai berlebih-lebihan, baik itu dalam berpakaian, berdandan, makan, tertawa. Dan di malam Hari Raya ‘Idul Fithri pun, kita hendaknya tidak terlarut dalam kegembiraan sehingga kita lupa untuk menghidupkan malam kita dengan qiyamul lail. Bukankan kita sudah dilatih untuk menghidupkan malam-malam kita dengan Tarawih selama bulan Ramadhan? Dan Rasulullah SAW pun bersabda, dari Abu Umamah RA, “Barang siapa melaksanakan qiyamul lail pada dua malam ‘Id (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha) dengan ikhlas karena Allah SWT, hatinya tidak akan pernah mati di hari matinya hati-hati manusia’." (HR Ibnu Majah). 

Marilah kita lihat bagaimana Rasulullah SAW menyambut Lebaran dengan keriangan yang bersahaja.
Pagi itu, tepatnya 1 Syawwal, Rasulullah SAW keluar dari tempat i’tikafnya, Masjid Nabawi. Beliau bergegas mempersiapkan diri untuk berkumpul bersama umatnya, melaksanakan salat ‘Id. Nabi juga menyuruh semua kaum muslimin, dewasa, anak-anak, laki-laki, dan perempuan, baik perempuan yang suci maupun yang haid, keluar bersama menuju tempat shalat, supaya mendapat keberkahan pada hari suci tersebut.

Menurut hadits Ummu ‘Athiyyah, “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan semua gadis dan wanita, termasuk yang haid, pada kedua hari raya, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan hari itu, juga mendapat doa dari kaum muslimin. Hanya saja wanita-wanita yang haid diharapkan menjauhi tempat shalat.” (HR Bukhari-Muslim).

Dikatakan oleh Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW keluar dengan seluruh istri dan anak-anak perempuannya pada waktu dua hari raya.” (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).

Ibnu Abbas dalam hadits yang diriwayatkannya menuturkan, “Saya ikut pergi bersama Rasulullah SAW (waktu itu Ibnu Abbas masih kecil), menghadiri Hari Raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, kemudian beliau shalat dan berkhutbah. Dan setelah itu mengunjungi tempat kaum wanita, lalu mengajar dan menasihati mereka serta menyuruh mereka agar mengeluarkan sedekah.”

Sebelum melaksanakan salat ‘Id, terlebih dahulu Rasulullah membersihkan diri. Lalu beliau berdoa, “Ya Allah, sucikanlah hati kami sebagaimana Engkau sucikan badan kami, sucikanlah bathin kami sebagaimana Engkau telah menyucikan lahir kami, sucikanlah apa yang tersembunyi dari orang lain sebagaimana Engkau telah menyucikan apa yang tampak dari kami.”

Ada juga riwayat yang mengatakan, Rasulullah, setelah mandi, memakai parfum. Anas bin Malik berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan kita di dua hari raya mengenakan pakaian terbagus yang kita miliki, menggunakan parfum terbaik yang kita miliki, dan berqurban (bersedekah) dengan apa saja yang paling bernilai yang kita miliki.” (HR Al-Hakim, dan sanadnya baik).

Imam Syafi’i dengan sanad yang juga baik meriwayatkan, Rasulullah SAW mengenakan kain burdah (jubah) yang bagus pada setiap hari raya. Pakain terbagus dalam hal ini bukan berarti baru dibeli, tetapi terbagus dari yang dimiliki. Lebih khusus lagi Imam Syafi’i dan Baghawi meriwayatkan, Nabi SAW memakai pakaian buatan Yaman yang indah pada setiap hari raya (Pakaian buatan Yaman merupakan standar keindahan busana saat itu).

Pada hari istimewa itu, beliau mengenakan hullah, pakaiannya yang terbaik yang biasa beliau kenakan setiap hari raya dan hari Jum’at. Ini merupakan tanda syukur kepada Allah, yang telah memberikan nikmat-Nya. 

Kemudian, beliau mengambil beberapa butir kurma untuk dimakan. Kurma yang dimakan biasanya jumlahnya ganjil, seperti satu, tiga, dan berikutnya. Ini pertanda, hari itu umat Islam menghentikan puasanya.

Sepanjang perjalanan dari rumah menuju tempat salat ‘Id, Rasulullah tak henti-hentinya mengumandangkan takbir dengan khidmat. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilhamdu.”

Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha di tanah lapang, seperti disebutkan di dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim. Beliau baru melaksanakan salat ‘Id di masjid kalau hari hujan. Menurut ahli fiqih, tempat salat ‘Id yang sering digunakan Rasulullah dan para sahabat itu terletak di sebuah lapangan di pintu timur kota Madinah.

Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri agak siang. Ini untuk memberi kesempatan kepada para sahabat membayar zakat fithrah mereka. Sementara salat ‘Idul Adha dilakukan lebih awal, agar kaum muslimin bisa menyembelih hewan qurban mereka.

Jundab RA berkata, “Rasulullah SAW shalat ‘Idul Fitri dengan kami ketika matahari setinggi dua tombak, dan shalat ‘Idul Adha dengan kami ketika matahari setinggi satu tombak.”

Rasulullah melaksanakan salat ‘Idul Fithri dua rakaat tanpa adzan dan iqamat. Pada rakaat pertama, beliau bertakbir tujuh kali dengan takbiratul ihram dan kaum muslimin di belakangnya bertakbir seperti takbirnya. Kemudian membaca surah Al-Fatihah dan surah lainnya dengan keras. 

Pada rakaat kedua, beliau takbir qiyam (berdiri dari sujud) kemudian bertakbir lima kali, kemudian membaca Al-Fatihah, disambung dengan surah lainnya.

Namun ada juga sahabat yang tertinggal shalatnya. Maka misalnya dia hanya mendapat tasyahhud, setelah imam salam dia shalat dua rakaat. Jadi dia shalat dua rakaat, sebagaimana dia ketinggalan dua rakaat dari imam. 

Lalu bagaimana dengan orang yang ketinggal shalat hari raya? Menurut Ibnu Mas’ud, “Barang siapa tertinggal shalat hari raya, hendaklah dia shalat empat rakaat sendiri.”

Abu Said Al-Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW selalu keluar pada Hari Raya Haji dan Hari Raya Puasa. Beliau memulai dengan shalat. Setelah selesai shalat dan memberi salam, Baginda berdiri menghadap kaum muslimin yang masih duduk di tempat shalatnya masing-masing. Jika mempunyai keperluan yang mesti disampaikan, akan beliau tuturkan hal itu kepada kaum muslimin. Atau ada keperluan lain, maka beliau memerintahkannya kepada kaum muslimin. Beliau pernah bersabda (dalam salah satu khutbahnya di hari raya), ‘Bersedekahlah kalian! Bersedekahlah! Bersedekahlah!’ Dan ternyata kebanyakan yang memberikan sedekah adalah kaum wanita.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ketika berangkat untuk melakukan salat ‘Id, Rasulullah selalu melewati jalan yang berbeda ketika pulangnya. Ini memudahkan para sahabat yang hendak menemui beliau untuk mengucapkan selamat hari raya, sekaligus menunjukkan kepada kaum kafir bahwa inilah umat Islam, yang keluar menuju Allah, dan kembali kepada-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan berjalan di muka bumi ini agar memperoleh keridhaan-Nya. 

Saling Bermaafan


Saat bertemu satu sama lain, kaum muslimin saling bermaafan, seraya saling mendoakan. Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan RA mengatakan, “Aku menemui Watsilah bin Al-Asqa’ pada hari ‘Id, lalu aku mengatakan, ‘Taqabbalallah minna wa minka (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadahmu).’ 

Lalu ia menjawab, ‘Taqabbalallah minna wa minka’. 

Kemudian Watsilah berkata, ‘Aku menemui Rasulullah SAW pada hari ‘Id, lalu aku mengucapkan: Taqabbalallah minna wa minka. 

Lalu Rasulullah SAW menjawab, ‘Ya, taqabbalallah minna wa minka’.” (HR Baihaqi). 

Selanjutnya, di masa sahabat, ucapan ini agak berubah sedikit. Jika sebagian sahabat bertemu dengan sebagian yang lain, mereka berkata, “Taqabballahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadah kalian).” (HR Ahmad dengan sanad yang baik).

Pada hari raya, Rasulullah mempersilakan para sahabat untuk bergembira. Seperti mengadakan pertunjukan tari dan musik, makan dan minum, serta hiburan lainnya. Namun semua kegembiraan itu tidak dilakukan secara berlebihan atau melanggar batas keharaman. Karena, hari itu adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah Azza wa Jalla (HR Muslim).

Aisyah RA menceritakan, “Di Hari Raya ‘Idul Fithri, Rasulullah masuk ke rumahku. Ketika itu, di sampingku ada dua orang tetangga yang sedang bernyanyi dengan nyanyian bu’ats (bagian dari nyayian pada hari-hari besar bangsa Arab ketika terjadi perselisihan antara Kabilah Aush dan Khazraj sebelum masuk Islam). Kemudian Rasulullah berbaring sambil memalingkan mukanya. 

Tidak lama setelah itu Abu Bakar masuk, lalu berkata, ‘Kenapa membiarkan nyanyian setan berada di samping Rasulullah?’

Mendengar hal itu, Rasulullah menengok kepada Abu Bakar seraya berkata, ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita’.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ada juga riwayat dari Imam Bukhari yang menceritakan, “Rasulullah SAW masuk ke tempatku (Aisyah), kebetulan di sana ada dua orang sahaya sedang menyanyikan syair-syair Perang Bu’ats (Bu’ats adalah nama benteng kepunyaan suku Aus; sedang hari Bu’ats ialah suatu hari yang terkenal di kalangan Arab, waktu terjadi pertempuran besar di antara suku Aus dan Khazraj). Beliau terus masuk dan berbaring di ranjang sambil memalingkan kepalanya. 

Tiba-tiba masuk pula Abu Bakar dan membentakku seraya berkata, ‘(Mengapa mereka) mengadakan seruling setan di hadapan Nabi?’ 

Maka Nabi pun berpaling kepadanya, beliau berkata, ‘Biarkanlah mereka.’

Kemudian setelah beliau terlena, aku pun memberi isyarat kepada mereka supaya keluar, dan mereka pun pergi. 

Dan waktu hari raya itu banyak orang Sudan mengadakan permainan senjata dan perisai. Adakalanya aku meminta kepada Nabi SAW untuk melihat, dan adakalanya pula beliau sendiri yang menawarkan, ‘Inginkah kau melihatnya?’

Aku jawab, ‘Ya.’

Maka disuruhnya aku berdiri di belakangnya, hingga kedua pipi kami bersentuhan, lalu sabdanya, ‘Teruskan, hai Bani ‘Arfadah!’ 

Demikianlah sampai aku merasa bosan.

Maka beliau bertanya, ‘Cukupkah?’ 

Aku jawab, ‘Cukup.’ 

‘Kalau begitu, pergilah!’ kata beliau.”

Hakikat Kemenangan

Demikianlah, Ramadhan telah melewati kita. Tapi kebaikan-kebaikan lain tetap mesti dipertahakan. 
Puasa Ramadhan memang telah berakhir, tapi puasa-puasa sunnah, misalnya, tidaklah berakhir, tetap menanti kita. Seperti puasa enam hari di bulan Syawwal, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan (ayyaamul bidh, tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan), puasa Asyura' (tanggal 10 Muharram), puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), dan lain-lain.

Tarawih memang telah berlalu, tapi Tahajjud, misalnya, tetap menanti kita. Juga bermunajat di tengah malam, yang merupakan kebiasaan orang-orang shalih. Abu Sulaiman Ad-Daaraani rahimahullah berkata, "Seandainya tidak ada malam, niscaya aku tidak ingin hidup di dunia."

Zakat fithrah memang telah berlalu, tapi zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka lebar pada waktu-waktu yang lain.

Karenanya, memasuki ‘Idul Fithri, yang berarti jiwa kita menjadi fithri (suci), “tampilan” kita harus lebih Islami. Baik tujuan, orientasi, motivasi, fikrah (pemikiran), akhlaq, moral, perilaku, interaksi, kebijakan, aktivitas, kiprah, peran, maupun yang lainnya. Individu, rumah tangga, ataupun sosial. Rakyat, ataupun pejabat. Ini merupakan indikator diterimanya puasa Ramadhan kita. Karena jika Allah SWT menerima amal seseorang, Dia akan menolongnya untuk mengadakan perubahan diri ke arah yang lebih positif dan meningkatkan amal kebajikan.

Seorang penyair Arab mengingatkan dalam sya'irya:

Bukanlah Hari Raya ‘Id itu
bagi orang yang berbaju baru
Melainkan hakikat ‘Id itu
bagi orang yang bertambah ta'atnya


Semoga dengan latihan yang telah kita lakukan selama bulan Ramadhan ini, kita disampaikan Allah kepada ketaqwaan. Semoga ketaqwaan ini dapat kita terus pertahankan dan kita jadikan sebagai pakaian kita sehari-hari. Dan semoga kita masih dapat dipertemukan Allah dengan Ramadhan berikutnya. 
Taqabbalallahu minna waminkum, wakullu 'aamin wa antum bikhairin. 

Sumber :
http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/681-tangis-perpisahan-para-pecinta-ramadhan
porthelon